Perkara Yang Datang Belakangan
Ini adalah respon saya terhadap Yang Luput dan Yang Abai dari Pameran Foto Halaman Depan Multikulturalisme (sumbarsatu.com, 19 Maret 2023) yang ditulis oleh Ramadhani, Tanpa Judul (garak.id, 20 Maret 2023) yang ditulis oleh Heru Joni Putra, dan Tentang “Kolektif Bala” dan Sebuah Permohonan Maaf (sumbarsatu.com, 20 Maret 2023) milik Esha Tegar Putra.
Baiknya, handai tolan sekalian membaca tiga tulisan yang ditulis kawan-kawan saya itu terlebih dahulu sebelum lanjut membaca apa yang saya sampaikan ini.
***
Ada banyak keganjilan yang saya temui dalam pameran “Halaman Depan Multikulturalisme: Pameran Foto Narasi Keragaman Arsitektur Tradisional di Sumatera Barat”. Handai tolan yang telah membaca tulisan-tulisan di atas tentu, sedikit-banyak, bisa membaca apa-apa saja keganjilan yang saya lihat. Dan tiga penulis dari masing-masing tulisan itu, baik langsung ataupun tidak langsung, telah dengan terang menera keganjilan-keganjilan tersebut.
Saya datang pada hari pertama pameran dan bertemu Esha Tegar Putra. Dia sempat berkata “Bro, kalau ado kritik sampaian se. Awak siap manarimo (Kalau ada kritik sampaikan saja. Saya siap menerima)”. Usai berbincang sebentar dengan Esha dan kawan-kawan fotografer lain, saya beranjak ke teks kuratorial yang dipasang di dinding sisi kanan.
Dua teks kuratorial dicetak dalam satu bidang flexi, teks milik Heru dan teks milik Esha. Di bawah kedua teks itu, tertulis nama-nama Tim Pameran; Kurator: Esha Tegar Putra & Heru Joni Putra; Periset: Randi Reimena & Heru Joni Putra; Penulis: Randi Reimena; Fotografer: Muhaimin Nurrizqy. Kemudian, saya menerima buku program yang dibagikan. Pada bagian nama-nama personil, terdapat tambahan Fatris MF (Editor Foto) dan beberapa nama lain lengkap dengan posisinya di dalam Tim Pameran. Kurator dan Editor Foto?
Sejauh yang saya pahami, Editor Foto dibutuhkan untuk kerja-kerja editorial, seperti lazimnya di media massa. Tugasnya adalah memilah foto-foto mana yang pas untuk ditampilkan. Dalam pengerjaan buku foto, Editor Foto juga dibutuhkan. Posisinya penting untuk mengantarkan pesan yang ingin disampaikan oleh fotografer. Sedangkan Kurator, khususnya di pameran fotografi, adalah orang yang bertanggungjawab menentukan foto apa saja yang layak dipamerkan, bagaimana tata letak yang pas, hingga respon ruang seperti apa yang akan digunakan untuk menjembatani foto-foto yang sedang dipamerkan dengan khalayak yang melihatnya.
Editor Foto punya bilik kerjanya sendiri, pun begitu dengan Kurator. Namun, di pameran ini, muncul Kurator dan Editor Foto secara bersamaan. Kening saya mengernyit. Apa peran keduanya tidak tumpang tindih?
Usai melihat keseluruhan foto-foto yang dipajang, saya menimbang-nimbang sendiri, ada dua gaya atau pendekatan visual dalam foto-foto yang dipamerkan ini. Di lokasi pameran, di pamflet-pamflet promosi yang beredar di media sosial, dan di dalam buku program yang baru saja saya dapatkan hanya ada satu nama fotografer yang ditulis.
***
“… Mungkin karena suara bising atau hari hujan, fotografer Zhu tak mendengar penjelasan yang disampaikan teman-teman saya di acara diskusi.”
Begitu Heru Joni Putra menulis dalam tulisannya Tanpa Judul itu. Heru tidak hadir dalam diskusi tersebut. Agaknya, apa yang ditulis oleh Heru berasal dari laporan Tim Pameran yang hadir selama diskusi ini. Dan informasi yang sampai itu tidak seperti apa yang sebenarnya terjadi di dalam forum diskusi. ‘Penjelasan’ yang dimaksud oleh Heru terkait dugaan saya sebelumnya tentang gaya visual yang berbeda yang tampil dalam pameran ini.
Saya hanya bisa menemukan dua rekaman video untuk diskusi “Halaman Depan Multikulturalisme: Pameran Foto Narasi Keragaman Arsitektur Tradisional di Sumatera Barat”. Kawan-kawan bisa melihat rekaman video tersebut di akun Instagram @hdmultikulturalisme. Masing-masing rekaman berdurasi 14 menit 23 detik dan 59 menit 57 detik. Sayangnya video itu tidak utuh. Rekamannya hanya sampai pada saat Esha mulai menjawab pertanyaan Iggoy El Fitra. Saya sebagai penanya terakhir, tepat setelah Iggoy, tidak terdokumentasikan dalam rekaman itu.
Sependek ingatan saya, ini beberapa pokok pertanyaan dan komentar saya dalam diskusi tersebut.
Pameran foto adalah salah satu panggung prestasi bagi fotografer. Tapi, saya tidak melihat ada ‘fotografer’ dalam pamflet promosi diskusi ini yang disebar di media sosial. Bukankah pameran fotografi ini adalah puncak paripurna dari rangkaian penelitian yang telah direncanakan sebelumnya? Harusnya, melalui diskusi ini fotografer bisa menjelaskan dan mempertanggungjawabkan apa-apa saja yang telah ia dokumentasikan. Jika tidak ada komentar dari Bang Iggoy tadi, mungkin kita tidak akan melihat Muhaimin duduk di depan.
Lalu masalah penomoran foto yang acak. Pengunjung akan kesulitan untuk mencocokkan masing-masing keterangan foto dengan foto yang dirujuk oleh keterangan yang ditulis tersebut. Ada kerja ekstra dari pengunjung pameran untuk mencari keterangan mana yang pas dengan foto-foto yang dimaksud.
Saya membaca nama Heru Joni Putra dan Esha Tegar Putra sebagai Kurator dan nama Fatris MF sebagai Editor Foto. Baru kali ini saya melihat pameran fotografi memiliki kurator dan editor foto. Apa fungsi keduanya? Bukankah pekerjaannya akan tumpang tindih?
Terakhir, setelah melihat seluruh foto-foto pameran, saya melihat ada dua gaya visual yang berbeda. Ada dua pendekatan yang berbeda. Foto seri tentang Uma Mentawai terasa berbeda dengan foto-foto yang lainnya. Apakah di pameran ini ada dua fotografer? Kalau iya, kenapa ada satu nama fotografer yang ditulis? Ini dugaan saya saja atau seperti apa? Takutnya, ketika pengunjung membaca nama fotografer yang tertera, mereka akan mengira seluruh foto dalam pameran ini dibuat oleh Muhaimin saja. Seperti yang saya sampaikan di awal tadi, salah satu panggung prestisius bagi fotografer adalah pameran foto. Menjadi satu kebanggaan dan penghargaan tersendiri bagi seorang fotografer ketika karyanya dipajang dan dilihat pengunjung dalam sebuah pameran.
Saya memang menunggu hingga di ujung diskusi untuk menyampaikan komentar dan pertanyaan-pertanyaan saya itu. Barangkali di tengah diskusi muncul pertanyaan dan komentar serupa seperti yang saya tulis di atas. Atau pernyataan bisa muncul dari Esha dan Randi selaku pembicara sehingga saya tidak perlu mempertanyakan hal tersebut. Sayangnya, hal-hal tersebut tidak muncul. Dan jawaban yang saya terima pun tidak utuh.
Hujan memang turun deras selama diskusi. Tapi, lewat dua pengeras suara, setiap perbincangan yang menggunakan mikrofon bisa didengar dengan jelas di ruang pameran ini. Handai tolan juga bisa mendengarkan dengan jelas pula melalui dua rekaman video yang diambil lewat telepon genggam seperti yang saya temukan itu. Dan sejak tiga per empat jalannya diskusi, saya memilih duduk di deret kursi depan paling kanan, kurang lebih lima-enam meter dari posisi pengeras suara ditaruh. Saya mendengarkan setiap pertanyaan dan jawaban yang beredar selama diskusi.
Lalu, kenapa tiba-tiba bisa muncul kalimat “Mungkin karena suara bising atau hari hujan, fotografer Zhu tak mendengar penjelasan yang disampaikan teman-teman saya di acara diskusi”? Saya jadi tak habis pikir. Saya hanya bisa berprasangka, sebab kesibukan, Heru tidak punya waktu untuk mengkonfirmasi langsung kepada saya tentang apa yang disampaikan oleh Tim Pameran kepadanya.
Lagi, dan sangat disayangkan, rekaman video diskusi yang saya temukan tidak utuh hingga akhir. Jika ada, saya dan siapa saja yang membaca tulisan ini tentu bisa memeriksanya kembali bersama.
***
Sepanjang ingatan, saya mengenal Esha di masa awal terbentuknya Pewarta Foto Indonesia-Padang (PFI-Padang) pada 2012. Ia menjabat sebagai Sekretaris dan saya duduk di Divisi Kepustakaan dan Multimedia. Ketua PFI-Padang masa itu adalah Iggoy El Fitra. Salah satu program yang sama-sama kami kerjakan adalah pameran foto peringatan Hari Pendidikan Nasional 2013 yang diselenggarakan di halaman Kantor Gubernur Sumatera Barat. Pameran ini bermaterikan foto, tali tambang plastik ukuran 5 mm, jepit baju plastik, dan satu spanduk kegiatan.
Ketika Esha meluncurkan buku puisi berjudul Dalam Lipatan Kain pada 2015, ia mengajak beberapa fotografer, juga saya, untuk berkolaborasi bersama. Masing-masing kami kemudian memilih puisi mana yang ingin direspon lewat foto. Saya memilih judul-judul Di Hadapan Jam Gadang, Hantu Sawang, Mabuk Kuda, Menjauh Dari Kota, Ombak Laut Sailan, Rumah Di Atas Gelombang, Tentang Gondoriah, dan Tentang Kota Ini. Kemudian, ketika Insumatra Photo Festival diadakan pada Maret 2019, saya mengundang Esha untuk membacakan narasi foto-foto cerita Fotoria dalam program Malam Layar di festival tersebut.
Itulah tiga persinggungan saya dengan Esha yang berkait dengan fotografi. Saya menulis persinggungan itu sebagai ingatan bersama. Sebab itu pula saya tidak mengira tulisan Tentang “Kolektif Bala” dan Sebuah Permohonan Maaf yang ditulis oleh Esha, sependek apa yang saya tangkap dari tulisan itu, kemudian terbaca sebagai ‘batas’ yang ia buat dengan fotografi, khususnya fotografi di Sumatera Barat. Apa yang saya tangkap ini bisa jadi salah. Karena sebagian penggiat fotografi di Sumatera Barat adalah orang yang itu-itu juga, orang-orang yang sama yang duduk ngopi dan biasa berdialektika dengan Tim Pameran dan juga dengan Esha sendiri. Orang-orang yang sama yang kerap bertemu dan bertukar cerita.
Pameran fotografi tidak mutlak hanya diadakan oleh fotografer atau mahasiswa-mahasiswa jurusan fotografi saja. Jika tertarik untuk mencari tahu, ada banyak pameran foto yang diselenggarakan oleh mereka yang tidak berlatar fotografi. Ilmuan pun bahkan bisa menggelar hajatan pameran fotografi sebagaimana yang dilakukan oleh profesor-profesor dari John Hopkins University dan Rochester Institute of Technology.
Jadi agak mengherankan bagi saya ketika Esha menulis “… pameran tersebut pada dasarnya ingin menonjolkan narasi, sebab jika pameran fotografi, tentu kami bukanlah siapa-siapa”. Pikiran saya belum bisa menerima pernyataan yang ditulis Esha itu. Kami bukanlah siapa-siapa. Kalimat itu meruntuhkan upaya-upaya yang dilakukan selama pengerjaan pameran ini. Padahal, salah satu yang membuat saya datang melihat pameran ini karena nama-nama tenar, seperti yang saya tulis diawal, yang menggawanginya. Maka, terbaca janggal ketika Esha menulis dan juga berlindung pada kalimat ‘kami bukanlah siapa-siapa’. Dengan begitu, upaya-upaya yang dilakukan menjadi hambar.
Fotografi, juga pamerannya, hanya medium penyampai pesan dan kisah. Semua orang bisa dengan mudah melakukannya, lebih-lebih di zaman digital yang melaju kencang ini. Sebab itu, tidak ada yang berhak mengatakan ke siapa saja bahwa ia “belum pantas mengadakan pameran berkaitan fotografi” seperti yang ditulis oleh Esha. Juga, tidak ada standar “pameran fotografer profesional” dan “bukan fotografer profesional” sebagaimana yang ditulis Heru. Toh, bukankah pesan dan kisah yang ingin disampaikan lewat medium fotografi memang perlu disiarkan secara luas layaknya pesan-pesan dan kisah yang dituangkan lewat esai, puisi, cerpen dan novel? Bukankah semangat dari seluruh kegiatan ini adalah untuk menjangkau orang-orang banyak? Karenanya, ‘kami bukanlah siapa-siapa’ jadi terasa mengganjal bagi saya yang telah lama mengenal Esha.
***
“Zulkifli secara spesifik menujuk foto-foto Uma-Uma di pesisir Kepulauan Mentawai tidak dipotret oleh fotografer yang sama dengan yang memotret foto pameran lainnya. Perbedaan foto-foto itu begitu mencolok dibandingkan foto lain,” begitu Ramadhani menulis dalam Yang Luput dan Yang Abai dari Pameran Foto Halaman Depan Multikulturalisme.
Seperti yang saya tulis di atas, di bagian pokok pertanyaan dan komentar saya dalam diskusi, bukan tanpa sebab dugaan saya muncul usai melihat keseluruhan foto-foto yang dipamerkan. Setiap pengkarya, entah itu fotografer, penulis, pelukis dan pengkarya seni lainnya, tentu memiliki gaya dan pendekatannya masing-masing. Misalnya, foto-foto tentang Kepulauan Banda yang dibuat oleh Yoppie Pieter dan Muhammad Fadli akan berbeda satu sama lain karena mereka memiliki gaya dan pendekatan yang berbeda pula ketika memotret.
Di dunia tulis menulis pun demikian pula. Fatris MF punya gayanya sendiri dalam menulis, pun demikian dengan Esha, Heru, Ramadhani dan penulis lainnya. Gaya ini dan masing-masing pendekatan yang dilakukan secara tidak langsung melekat pada pengkarya ketika ia menciptakan sebuah karya. Secara sadar atau pun tidak, Muhaimin Nurrizqy telah melakukan hal yang sama.
Namun, foto Uma-Uma Mentawai jelas tidak dipotret oleh Muhaimin karena gaya dan pendekatan visual yang tidak seirama dengan sembilan seri foto lainnya. Perbedaan gaya atau pendekatan ini bukan untuk mengatakan karya yang satu lebih baik dari karya yang lain. Bukan untuk menghakimi foto itu lebih bagus dari yang lain. Hanya pikiran-pikiran sempit yang tentunya bisa melahirkan anggapan demikian. Dan dugaan yang saya sampaikan dalam diskusi pameran itu mutlak karena bacaan saya sendiri terhadap seluruh foto yang dipamerkan.
Sayangnya, tidak ada konfirmasi yang saya dengar tentang itu sepanjang diskusi berlangsung. Dan para pembicara, Esha-Randi plus Muhaimin, tidak sepatah kata pun menyampaikan bahwa memang ada fotografer lain yang terlibat di dalam pameran ini. Saya menyimpulkan, berarti dugaan saya salah. Hingga kemudian tulisan Ramadhani tayang. Di dalam tulisan itulah pertama kali nama fotografer selain Muhaimin muncul. Lalu, muncul lagi di tulisan Heru Joni Putra dan tulisan Esha Tegar Putra lengkap dengan cerita bagaimana keterlibatan fotografer tersebut di dalam pameran ini. Kemudian, respon-respon dari yang membaca tiga tulisan itu berkelindan bebas di media sosial dan di alam pikiran masing-masing.
Agaknya, para peserta diskusi malam itu, dan juga orang-orang yang mengunjungi pameran di Fabriek Bloc itu, baru menyadari bahwa ada fotografer selain Muhaimin yang turut terlibat di pameran Halaman Depan Multikulturalisme.
Kadang, pengakuan memang datang belakangan, bukan?
Rawajati, 22 Maret 2023
© Zhu Qincay 2012 - 2023
zhu@zhuqincay.com